BELAJAR HIJRAH DARI JAMIL AZZAINI
Oleh : Deka Kurniawan
Ada banyak jenis hijrah. Ada yang semula hidup bergelimang dosa berubah menjadi ISLAMI. Ada yang semula kafir menjadi islam. Dan.ada juga yang berupaya keras keluar dari jurang kemiskinan dengan cara-cara yang halal.
Untuk kasus yang terakhir ini, JAMIL AZZAINI, Direktur Dompet Dhuafa (DD) Republika dan Direktur Pesantren Wirausaha Agribisnis Abdurrahman Bin Auf di Klaten, Jawa Tengah, punya kisah hidup yang menarik. Berikut kisahnya.
Tekad Menjadi Kerang Mutiara
Ia lahir dari keluarga yang kurang berpendidikan. Ayahnya Cuma lulusan SR (Sekolah Rakyat), sementara ibunya tidak tamat SD.
Dua puluh tujuh tahun lalu, Jamil kecil tinggal bersama keluarga di sebuah gubuk terbuat dari bambu (gedhek), di tengah hutan di Lampung.
Kampung terdekat dengan gubuk tersebut berjarak kurang lebih 2 kilometer. Agar aman dari binatang buas, gubuk tersebut di buat memanggung. Barisan pohon singkong mengelilingi gubuk yang hanya memiliki satu tempat tidur itu.
Untuk memenuhi kebutuhan lauk pauk, Jamil sering memancing ikan di rawa kecil di dekat tempat tinggalnya. suatu saat, ketika Jamil sedang memancing, ayahnya dan duduk di sampingnya.
“Mil, bapak punya cerita tentang kerang mutiara dan kerang rebus. Sambil mancing kamu dengarkan ya,”kata sang bapak.
Beliau kemudian bertutur:”seekor kerang belia mencari makan akan membuka penutup badannya. Makam saat itu, pasir pun masuk kedalam tubuhnya. Sang kerang menangis, ‘Bunda ,saki Bunda ,sakit ada pasir masuk kedalam tubuhku.’
Sang ibu menjawab,’sabarlah nak, jangan kau rasakan sakit itu, bila perlu berikan kebaikan kepada sang pasir yang telah menyakitimu.’
Kerang belia itu masih menangis, namun air matanya digunakan untuk membungkus pasir yang masuk kedalam tubuhnya. Hal ini terus-menerus ia lakukan. Rasa sakit itupun mulai berkurang bahkan kemudian hilang. Ajaibnya pasir itu justru berubah menjadi butiran yang sangat cantik, menjadi mutiara.
Ketika dipanen dan kemudian di jual, ternyata kerang-kerang yang berisi butiran mutiara itu harganya sangat mahal. Sementara kerang yang lain yang tak pernah merasakan sakitnya pasir Cuma menjadi kerang rebus yang di jual murah, bahkan diobral dipinggir-pinggir jalan.”
Sang ayah menarik nafas sebentar,lalu meneruskan ceritanya.
“kalau kamu tidak pernah mendapat cobaan dan merasakan rasa sakit, maka kamu akan menjadi seperti kerang rebus, yakni menjadi orang murahan. Tapi, kalau kamu mampu menghadapi cobaan bahkan memberikan manfaat kepada orang lain ketika sedang mendapat cobaan itu, maka kamu akan menjadi seperti kerang mutiara.”
“Mil, kerang rebus diobral di pinggir jalan sementara mutiara dijual mahal, diletakkan di tempat terhormat. Hidup itu pilihan Mil. karna bisa milih hendak menjadi kerang mutiara atau kerang rebus, semua terserah kamu.
Sang ayah kemudian bertanya,”Kamu memilih mejadi apa Mil?”
Jamil menjawab,”Saya ingin menjadi kerang mutiara pak.”
Cerita itu sangat mempengaruhi perjalan hidup Jamil selanjutnya. Ketika
Duduk di SMP, ia harus mencari biaya sendiri untuk membayar SPP. Selepas subuh, Jamil sudah pergi ke kebun karet untuk mengambil getah dari perkebunan karet PTP X. pekerjaan itu bisa ia tuntaskan sebelum jam tujuh pagi. Ia dibayar empat ribu perak selama sebulan.
Karena pekerjaan itu, aroma tak sedap kerap menempel ditangannya. Walau dicuci dengan sabun, aroma itu tetap tidak hilang. Tak heran jika di sekolah, tangannya sering diludahi teman-teman. “Sekali waktu ludah teman saya mengenai wajah saya. Saya senpat menangis kepada ayah dan menyatakan berhenti dari pekerjaan itu,” cerita Jamil.
Namun, ayahnya mengingatkan kembali kepada cerita “kamu mau jadi kerang mutiara atau kerang rebus,”katanya. Jamil pun kembali bersemangat menghadapi semua kegetiran itu.
Ketika lelah mengayuh sepeda sepajang 23 km menuju sekolah SMAN Way Halim di Bandar lampung. Ia juga selalu mengingat cerita itu.
Waktu terus berlanjut. Karena kepintarannya, Jamil diterima kuliah di IPB, Bogor, Jawa Barat. Namun ia tak punya onkos untuk prig ke Bogor. Terpaksalah Jamil dan Ayahnya mencari pinjaman kesalah seorang tetangga di kampung.
“Alhamdulillah Pak, Jamil diterima di IPB. Tapi saya tidak uang untuk memberangkatkan dia. Tolong pinjami saya uang tiga ratus ribu rupiah saja,”ayahnya berkata kepada sang tetangga.
Sambil menghisap rokok, tuan rumah itu menjawab,” wah hebat, bisa diterima di IPB, tapi kalau tak punya uang nggak usah panjang angan-angan. Sudah tahu miskin, lha kok mau kuliah. Baru mau berangkat saja sudah pinjam. Bagaimana nanti biaya bulanannya? Apakah bertahun-tahun mau pinjam uang terus?”
Dihina begitu sang ayah langsung tertunduk lemas. Jamil tak tahu apa yang bergemuruhdi benak ayahnya ketika itu. Tak terasa butiran air mengalir di pipi Jamil, tapi dibiarkan.”bagi saya itu seperti air mata kerang belia yang sedang membungkus pasir yang masuk kedalam tubuhnya.” Cerita Jamil.
Menuai Berkah
Singkat cerita, pria kelahiran Kutoarjo, 9 Agustus 1968, itu akhirnya berangkat ke Jakrta dengan bekal seadanya. Dengan tekad ingin mengangkat derajat keluarga, Jamil akhirnya bisa mengawali kuliahnya di Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian.
Tentu saja dengan bekal yang sangat minim, Jamil muda lagi-lagi harus menghadapi kegetiran. Ia terpaksa harus menumpang tidur di Masjid Kampus karena tidak bisa menyewa kamar kost sendiri. Beberapa kali ia juga pernah menumpang di tempat kost teman-temannya.
Untuk menghemat bekalnya, seringlaki ia hanya makan sehari sekali. Namun , begitu kuat niatnya untuk mengubah nasib, ia harus bertahan dengan berjualan Koran, buku, dan menjadi penjaga Masjid.
Allah Maha Adil, dengan keyakinan kuat akan cita-cita, mental tegar dan semangat kerja kerasnya, serta bermodal kecerdasannya, ia mulai membuka usaha bimbingan belajar. Sejak itu perjalan hidup ayah empat putra , alumni Program Studi Magister Manajemen Agribisnis Program Pascasarjana IPB menuai banyak keberkahan.
Kini, aktivis dakwah semasa kuliah itu masih diamanahi sabagai pengurus Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Selain itu, ia juga membangun lembaga edukasi Kubik Training and Concultancy. Kepada setiap peserta training ia selalu berkata, “Saya telah memilih menjadi kerang Mutiara. Bagaimana dengan anda?” Wallahu a’lam bish shawab.***
“kalau kamu tidak pernah mendapat cobaan dan merasakan rasa sakit, maka kamu akan menjadi seperti kerang rebus, yakni menjadi orang murahan. Tapi, kalau kamu mampu menghadapi cobaan bahkan memberikan manfaat kepada orang lain ketika sedang mendapat cobaan itu, maka kamu akan menjadi seperti kerang mutiara.”